Seperti sebagian besar dari kita yang peduli pada kesehatan dan berusaha menjaga lingkungan, Tina Surachmat, 36 pun mencoba hidup lebih sehat dengan memilih bahan makanan yang menurutnya “lebih ramah lingkungan” sekaligus “lebih sehat”. Solusi yang dilakukan adalah berbelanja di supermarket makanan organik, belanja di pasar tradisional, dan jika membeli makanan olahan macam saus atau roti, ia akan memilih yang labelnya menyebut “dibuat tanpa gula jagung berfruktosa tinggi”. Menurut Anda, apakah dia cerdas berbelanja, atau malah tertipu bujukan industri? Masalahnya, label “makanan organik” atau “tidak mengandung gula jagung” seringkali jadi membuat Anda menganggap produk tersebut sehat dan baik. Padahal, kedua istilah tersebut belum dapat diverifikasi.
Sayangnya, label sejenis ditempelkan di hampir 25 persen dari total produk makanan dan minuman yang beredar di pasaran. Di kalangan praktisi kesehatan, pelabelan ini disebut health halos. Efek halo adalah sebuah istilah untuk menggambarkan pengaruh sebuah pemikiran pada pemikiran lain. Dalam hal makanan, hal ini bisa jadi pengaruh produsen atas pikiran Anda. “Bahayanya, label tersebut bisa membuat Anda berpikir bahwa makanan atau minuman tersebut aman dikonsumsi dalam jumlah besar,” kata Brian Wansink, Ph.D, konsultan kesehatan FITNESS yang juga Direktur Laboratorium Makanan dan Minuman di Cornell University, AS. Dari laboratorium ini pulalah istilah health halosdiperkenalkan pada publik. Ancaman bagi para pemerhati hidup sehat sudah tampak. Penelitian University of South Carolina di Columbia membuktikan bahwa orang-orang yang sedang berupaya menurunkan berat badan sangat terperdaya oleh label tersebut. Jadi, untuk membantu Anda memilih, kami susun panduan cara membaca label berikut.
GLUTEN-FREE
Produk-produk tanpa gluten dibuat khusus untuk penderita celiac disease, sebuah gangguan saluran pencernaan yang menyebabkan usus tak bisa menyerap nutrisi dengan baik. Penjualan produk gluten-free meningkat sejak 2005, bisa jadi karena “promosi” dari Gwyneth Paltrow yang sangat menyukai produk-produk tersebut. Namun riset pasar dari Firma Packaged Facts menemukan fakta bahwa masyarakat memilih produk bebas gluten untuk menghindari kesulitan buang air besar dan mengatasi masalah sulit konsentrasi. Banyak juga yang mengira produk ini bisa membantu menurunkan berat badan.
Fakta: produk gluten-free tidak diperlukan tubuh, kecuali jika Anda menderita celiac disease. Dan jangan khawatir, setelah diteliti, penyakit ini hanya menyerang satu dari 133 orang. Kadangkala memang ada orang yang alergi terhadap gluten. Jadi meskipun tidak menderita celiac, tetap terserang diare dan migrain setelah mengonsumsi protein. Bagi mereka, produk gluten-free adalah yang terbaik. Tetapi, “Produk gluten-free tak lalu otomatis setara dengan produk sehat,” kata Shelly Case, RD, penulis buku Gluten-Free Diet: A Comprehensi Resource Guide. Lebih jauh, produk bebas gluten tidak menyebabkan berat badan berkurang, malah cenderung berkalori tinggi dan rendah serat dibandingkan produk serupa yang terbuat dari gandum. Menurut Case, produk bebas gluten mengandung lebih banyak tepung, lemak dan gula karena tiga hal itulah yang membuat rasanya enak. Sebagian besar produk non-gluten juga tak diperkaya zat besi dan vitamin B seperti halnya produk berbahan dasar gandum. Artinya, mengonsumsi produk gluten-free bisa membuat tubuh kekurangan nutrisi penting.
TRANS FAT-FREE
Beberapa kota di Amerika, seperti New York, Baltimore dan Boston, telah melarang praktek penambahan minyak tak jenuh pada makanan yang disajikan di restoran. Trans fat muncul ketika lemak diproses dengan gas hidrogen agar bentuknya berubah dan menjadi lebih awet. Tentu ada sisi buruknya: trans-fat menaikkan tingkat kolesterol dalam darah. “Pada saat bersamaan juga menurunkan kadar kolesterol HDL yang berguna mencegah penyumbatan arteri dan menaikkan kadar kolesterol jahat LDL,” kata Lisa Young, Ph.D, RD, anggota dewan penasehat Fitness yang juga ahli nutrisi di New York University, AS. Setelah memahami sisi buruk trans fat, konsumen mulai mempertanyakan arti “trans fat-free” pada label. Survei yang dilakukan New York Times menemukan fakta bahwa orang-orang yang menemukan produk dengan kemasan berlabel “trans fat-free” menyangka produk tersebut berkalori lebih rendah, padahal kenyataannya adalah sebaliknya.
Fakta: Gara-gara ada “celah” di peraturan FDA, produsen bisa menyebutkan produk mereka mengandung nol gram trans fat jika kandungan lemak jenuhnya kurang dari setengah gram per takaran saji. Jadi jika Anda mengonsumsi lebih dari satu takaran saji, racun yang masuk ke dalam tubuh pun jadi banyak. Misalnya tiap hari Anda makan dua genggam biskuit asin, granola bar, atau beberapa keping biskuit cokelat, yang dikemasannya tertulis “0 gr trans fat per serving”, artinya Anda bisa saja mengonsumsi 2,5 gram trans fat per hari. Tentu saja ini diambang batas aman yang ditetapkan American Heart Association, yaitu 2 gram per hari. Apa yang harus Anda lakukan? Jika membaca label margarin atau selai kacang dan menemukan kata “Hydrogenated Oil” atau “Partially Hidrogenated Oil”, segera tinggal barang tersebut. Trans fat bisa ditemukan di junk food seperti camilan yang berbentuk roti, donat, atau makanan dalam kemasan yang dibekukan. Menghindari membeli bahan makanan tersebut, dengan sendirinya mengurangi asupannya, bukan?
NO HIGH FRUCTOSE CORN SYRUP
High-Fructose Corn Syrup populer sebagai pengganti gula dalam industri makanan. Beberapa tahun lalu, para peneliti menemukan hubungan antara HFCS dan kenaikan jumlah penderita obesitas serta diabetes. Segera saja dikibarkan “bendera perang” melawan pemanis HFCS. Sekarang, lebih dari sepertiga masyarakat yang disurvei oleh Mintel – sebuah firma periset pasar – mengakui bahwa mereka menghindari produk makanan yang mengandung HFCS. Kemudian para produsen menggantikan HFCS dengan pemanis lain, termasuk jus dan saus, lalu dengan bangga menampilkannya di label makanan mereka.
Fakta: “Seringkali label hanya bersifat seperti bujukan, apalagi ketika ditempelkan di makanan-makanan yang melewati proses pengolahan panjang,” demikian menurut Bonnie Taub-Dix, penulis buku Read It Before You Eat It. Menurutnya, HFCS tiak terlalu berbeda dibanding gula biasa. Masalahnya, menurut riset terkini yang dimuat di American Journal of Clinical Nutrition, tidak ada bukti ilmiah bahwa ada perbedaan pemrosesan HFCS di dalam tubuh, dan juga tidak bisa dibuktikan bahwa efeknya pada tubuh lebih parah dibanding jenis gula lain. Yang jelas, terlalu banyak pemanis, apa pun bentuk dan namanya, tidak baik untuk tubuh. Periksa empat bahan teratas yang tercantum di label. Jangan membeli produk jika terdapat bahan-bahan pemanis, termasuk madu, sukrosa, fruktosa atau sari buah. Jangan pernah lupa juga bahwa empat gram gula sama dengan satu sendok teh. Jadi jangan sampai salah, tanpa sadar memasukkan tiga sendok teh gula ke dalam tubuh saat sarapan, gara-gara oatmeal instan Anda mengandung 12 gram sari buah.
PRODUK LOKAL
Kata-kata lokal seolah “mantra sakti” ketika ditempel di buah-buahan atau sayur mayur. Dalam survei pun, masyarakat Amerika menyebutkan bahwa buah atau sayur lokal lebih sehat dan lebih lezat dibanding yang impor. Karenanya, jumlah pertumbuhan kios buah dan sayur lokal di Amerika melonjak hingga 40 persen sejak 2002. Hal ini diikuti pula oleh naiknya jumlah restoran yang mengklaim menggunakan produk lokal, menjadi 13 persen lebih banyak di tahun yang sama.
Fakta: Menurut Kate Geagen, penulis buku Go Green, Get Lean, buah dan sayuran yang dikonsumsi segera setelah panen memang punya beberapa kelebihan. Produk yang dijual di supermarket biasanya harus melewati tempat transit hingga beberapa hari, yang akhirnya memengaruhi kondisi kandungan nutrisinya, terutama vitamin C dan asam folat yang mudah rusak. Memang, buah-buahan di kios biasanya dalam kondisi yang lebih prima dibanding yang di supermarket. Namun, kesalahpahaman yang terjadi adalah menyangka bahwa bahan pangan lokal, misalnya keju atau mentega yang tinggi kalori, juga lebih sehat dibanding yang ada dijual di toko besar. “Makanan seperti es krim atau burger akan tetap berlemak, tak mungkin berubah jadi makanan sehat, hanya gara-gara diberi label “lokal”, kata Geagen. Daging sapi dan produk unggas berlabel “lokal” tidak juga serta merta lebih sehat, meskipun kemungkinan besar hewan-hewan tersebut diternakkan dengan cara yang lebih ramah lingkungan dibanding yang dikembangbiakkan di peternakan besar. Hati-hati, label “lokal” tidak bisa diartikan sama dengan “organik”. Jadi jika Anda menghindari pestisida, antibiotik atau hormon tambahan yang biasa disuntikkan pada ternak, lebih baik tanya pada penjualnya cara-cara yang dilakukan untuk menanam atau mengembangkan bahan makanan yang dijualnya.
WHOLE-GRAIN
Sebuah survey mendapati hampir setengah masyarakat yang berbelanja di saat yang sama memasukkan lebih banyak barang-barang berlabel “whole grain” dalam keranjang mereka. Apa alasannya? “Karena lebih sehat dikonsumsi,” adalah jawaban tiga dari tiap empat orang. Dan pilihan barangnya memang sangat banyak. Tahun lalu, beredar lebih dari 3000 barang baru berlabel “whole grain” termasuk biskuit dan olahan daging ayam siap saji.
Fakta: Memang, produk berbahan baku gandum utuh lebih sehat untuk tubuh. Tepung gandum mengandung protein 25 persen lebih banyak, serat 78 persen lebih banyak, dan vitamin E 93 persen lebih banyak dibanding tepung terigu. Tapi jangan lalu dibutakan oleh label semata. “100 persen gandum utuh” berbeda dari “dibuat dari gandum utuh”. Kalimat kedua bisa berarti produk tersebut masih mengandung tepung terigu. Bagaimana cara memastikannya? 1. Baca daftar bahan-bahan. Selalu cari kata “utuh” atau “whole” di depan kata benda. Jadi, yang seharusnya tercantum adalah “whole wheat flour” atau “tepung dari gandum utuh” bukan sekadar “wheat flour”. 2. Teliti kandungan nutrisinya. “Cari produk berlabel “whole grain” yang mengandung setidaknya tiga atau empat gram serat,” kata Susan S. Zabriskie, RD, praktisi diet untuk Whole Grain Council.
LOW FAT
Seringkali label “low fat” identik dengan “makanan aman”. Percaya atau tidak, orang-orang akan makan permen hingga 30 persen lebih banyak ketika dibungkusnya tertera kata “low fat”. Penelitian tersebut dilakukan oleh the Journal of Marketing Research. “Banyak orang terbujuk dengan produk makanan berlabel rendah lemak,” kata Pierre Chandon, Ph.D, salah satu peneliti di the Journal pf Marketing Research.
Fakta: Banyak sekali produk makanan rendah lemak yang ternyata memiliki kalori sama besar dengan produk sejenis yang full-fat. Produsen bisa saja menambahkan gula ke dalam es krim rendah lemak, low-fat cookies, atau di salad dressing, demi mempertahankan kelezatannya. Lagipula, menghindari lemak bisa merugikan bagi Anda yang merencanakan penurunan berat badan. “Lemak membuat seseorang merasa kenyang, yang pada akhirnya menekan nafsu makan,” kata Young. Pola makan rendah lemak juga kurang baik bagi tubuh, karena kekurangan lemak akan memicu penimbunan karbohidrat, seperti dari pasta atau permen, yang lalu menurunkan level kolesterol HDL sekaligus menaikkan trygliceride . Daripada pantang lemak, lebih baik Anda mengasup lemak tak jenuh yang bisa ditemukan di beberapa jenis kacang-kacangan, avokad, minyak zaitun dan minyak kanola, atau wijen. Bisa saja mengonsumsi omega-3 yang terdapat di biji bunga matahari dan ikan salmon.
ORGANIK
Survei oleh Wansink, peneliti dari Cornell University, tentang anggapan orang terhadap biskuit berlabel “organik” dan yang tidak. Hasilnya, banyak orang yang menganggap biskuit organik lebih lezat, lebih rendah lemak, rendah kalori, tinggi kandungan seratnya, dan akhirnya lebih mahal . “Mereka selalu beranggapan kata organik berarti produk bermutu,” tambah Wansink.
Fakta: Untuk beberapa jenis produk organik memang lebih baik. Susu organik, misalnya, mengandung asam folat omega-3 lebih banyak dibanding susu biasa. Kandungan asam linoleat dan lemaknya bisa melawan penyakit jantung. “Daging sapi yang diternakkan secara organik cenderung rendah kandungan lemaknya, punya lebih banyak asam folat omega-3, mengandung lebih banyak vitamin E dan beta karoten,” kata Geagen. Produk organik hampir tidak tercemar pestisida, tapi tak semua wajib dibeli dengan harga mahal. Pilihan produk organik mungkin cocok untuk jenis makanan yang mudah tercemar, seperti buah-buahan yang dimakan dengan kulitnya, atau sayuran mentah. Anda bisa lewatkan label “organik” saat membeli olahan gandum seperti keripik, mi, atau biskuit, karena produk tersebut cenderung tidak tercemar residu pestisida.
Komentar
Posting Komentar